A Piece of Moment (part1) 10-8
Drrt...drrt... sebuah pesan sampai di handphoneku, aku
meraihnya malas. Siang ini benar-benar bolong, panasnya membuatku ingin
mengangkut es di kutub sana.
From:: Orzha
Nanti jadi gak bubarnya?
Ahh, ternyata dia ingat juga rencana minggu lalu itu,
walaupun itu sepertinya akibat ku ingatkan beberapa hari yang lalu.
To:: Orzha
Ingat?
Sindirku asal. Lah kenapa aku jadi kesal sendiri, udah
untung dia ingat. Ahh, sebodo amatlah, toh smsnya sudah terkirim.
From:: Orzha
Ingat dong nek :p, jadi gak?
Hmm... awas aja kalo sampe dia lupa, aku akan menggigitnya
lebih parah dari drakula jika bertemu nanti. Aku membalas pesannya, tentu saja
jadi, aku bahkan sudah siap dari minggu lalu. Sesuai rencana, kami akan buka
puasa di luar sekaligus sholat di masjid luar juga, maksudnya bukan masjid yang
sehari-hari menjadi tempat semayam kami. Bosan saja, sekedar mengganti suasana
untuk kepuasan pribadi, hhaha.
“Deaaaaaaaas...” lengkingan milik Orzha tengah merambat
lewat udara, ahh cepat juga dia, biasanya aku lebih cepat dari dia.
“lima menit!!” kataku padanya setelah berlari keluar.
Dengan kilat dan petir aku berdandan seadanya, aku selalu
ingin tampil sederhana tapi berkesan tapi sepertinya tidak bisa, aku tipe yang
asal-asalan, penampilanku selalu terlihat kacau, padahal aku sudah memanut diri
menatap cermin setengah jam. Setengah jam guysss, tumitku serasa mau copot
saking pegelnya, dan hasilnya juga ga ada. Dasar cewek payah!!!
Aku melesat keluar setelah ku rasa waktuku telah berlalu, ku
lihat Orzha tengah bersenandung gaje di atas dingdonya (motor matic hitam-belang-merah
favoritnya). Dengan sabar dia menungguku mengunci pintu dan pagar rumah orang
tuaku. Anak ini memang tipe penyabar sekaligus bijaksana, tapi sampai mati pun
aku takkan pernah mengatakan hal ini padanya. Aku bukan tipe orang pemuji
ataupun senang dipuji. Sifat kami kebanyakan berlawanan, entah apa yang
membuatku merasa cocok berteman, maksudku bersahabat dengannya. Hidup memang
kolektor tanda tanya.
Dingdo melaju membelah keramaian kota Malang, jalanan
semakin sesak pada jam rawan begini, membuat dingdo tidak mengeluarkan semua
tenaganya.
Sudah setengah jam kami berputar-putar menjelajahi setiap
ruas jalan yang dapat kami pandang, hari ini Orzha ingin makan karedok, cukup
sulit mencarinya. Sebenarnya kami sudah punya tujuan sebelumnya, tapi tempat
makan yang kami maksud tutup, jadilah kami berkeliling-liling dulu.
“Yas, ga usah karedok ga papa.” Teriak Orzha padaku. Topik
yang melenceng dari pembahasan kami sebelumnya.
“yakin?” tanyaku memastikan, dia mengangguk pasti.
(17.55)... yang benar saja, walaupun tidak mencari menu
karedok, tetap saja kami masih setia di atas Dingdo saat ini. Kenapa setiap
tempat harus rame sih? Kalo ga rame, menunya ga cocok, huh kalo gini situasinya
keburu maghrib duluan deh, dumelku dalam batin.
“kita ke cega food aja gimana Or?” tanyaku akhirnya
“yaudah ayok,” sahutnya tak kalah pasrah denganku.
Dingdo berbelok ke selatan menuju Cega Food.
10 menit perjalanan membuahkan hasil, untung Cega Food ga
begitu jauh dari tempat kami tadi. Cega Food ga begitu rame, Cuma ada
sekelompok remaja cowok yang tengah melahap sadis makanannya, beberapa cowok di
sudut lainnya, dan beberapa meja yang juga tengah di tempati remaja cowok.
Haissh kenapa tempat ini dipenuhi makhluk berlabel cowok sih, hanya kami yang
terlihat bagai bidadari disini, haha bidadari main layangan maksudnya. Saking
langkanya jenis kami di sini, akhirnya semua mata memandang kehadiran kami,
aura kami mengalihkan perhatian mereka. Hhuakakkakakkkk...
Aku berjalan menuju konter soto ayam di sebelah konter bakso
dan ayam panggang, aku lantas memesan seporsi soto ayam yang ternyata diikuti
Orzha.
Kami memilih meja di tengah ruangan, hemm... habislah kami
jadi bahan perhatian.
Seorang kakak pelayan dari koter minuman lewat, kesempatan
itu langsung ku gunakan tanpa pamrih, aku memesan es sari kacang hijau dan
Orzha memesan segelas besar es kelapa muda.
Pesanan kami datang dalam waktu yang lumayan cepat,
mengingat kami sudah terlambat membatalkan puasa hari ini. Aku langsung
menyeruput dalam es sari kacang hijauku, aku benar-benar haus. Eh?
Rasanya...pahit. haiss setelah pait terasa hambar, es kelapa muda Orzha juga
sama saja denganku. Yang benar saja, setelah berpanas-panas ria, menahan haus sampai
maghrib, ditambah tragedi-putar-putar-kota-cari-tempat-bukaan tadi, eh malah
disambut dengan keterlambatan berbuka dan minuman yang sama sekali pengen
dimuntahin-ke-muka-kakak-pelayan-tukang-konter-minuman-pait-dan-hambar. Dengan
susah payah aku menghabiskan setengah gelas es tersebut.
Aku lalu menyendokkan perlahan
soto-ayam-dengan-tampilan-agak-aneh yang sudah ku pesan beberapa menit lalu.
Dan rasanya benar-benar cocok. Cocok dengan minumannya yang pahit dan hambar
itu, soto ayam ini juga ga ada rasanya, malah beberapa komponen terasa
mengerikan karena mengandung kadar asam yang mematikan. Hancur sudah hari ini,
soto-ayam-asam dan es-sari-kacang-hijau-pahit-dan-hambar, dua menu setan yang
mematikan.
Aku yakin Orzha juga sependapat denganku tentang menu
mengerikan tersebut, tapi dia terlihat baik-baik saja, malah dengan lahap
menghabiskan semuanya. Dasar makhluk ndeso ngeluh, semuanya terlihat oke-oke
saja dimatanya. Tentu saja dia bakal hidup lebih lama daripada aku jika kami
ditempatkan di zaman batu, dia bisa memanfaatkan apa saja di sekitarnya tanpa
kenal keluhan. Sedangkan aku? Walaupun bisa tetap saja tipe seperti aku akan
gugur duluan. Bahkan menurut perkiraanku, dia bakal bertahan sampai zaman
sekarang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar